WARISAN
DIENG UNTUK INDONESIA DALAM PERCANDIAN ARJUNA GUNA MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA INDONESIA
Disusun untuk Mengikuti Lomba
Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia Tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Aprilia Dhammashinta dan Aprilia Dhammashanti
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan kebudayaan peninggalan kejayaan masa lampau,
hal ini terbukti dari temuan bukti-bukti sejarah seperti kitab sastra, yupa,
prasasti, dan candi, yang tersebar di hampir seluruh penjuru Nusantara. Salah
satu kebudayaan lampau yang bertahan cukup lama di Indonesia adalah kebudayaan
India (Hindu) yang berdasarkan kitab Geographike mulai tersebar sejak abad ke
II Masehi melalui jalur perdagangan, dan kebudayaan ini telah meninggalkan
beragam peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut memiliki arti penting dalam
memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jati diri suatu bangsa.
Namun saat ini, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia seperti terlepas dari landasan falsafah
budayanya sendiri. Berbagai peninggalan kebudayaan yang seharusnya mampu
menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia,
saat ini juga mulai ditinggalkan bahkan dilupakan. Masalah lingkungan sosial
budaya di Indonesia bukan hanya soal kemiskinan, penggangguran, dan kesenjangan
sosial, namun juga konflik yang mengedepankan isu SARA (suku, agama, ras, dan
antar golongan).Beberapa konflik berbasis SARA yang pernah terjadi di
Indonesia, sebut saja seperti konflik Sampit di Kalimantan Tengah tahun 2001
yang melibatkan suku Dayak dan transmigran yang merupakan suku Madura;
kerusuhan Poso yang melibatkan kelompok Muslim dan kelompok Kristen di Poso,
Sulawesi Tengah tahun 1998 dan tahun 2000; konflik kelompok Syiah dan Sunni di
Madura tahun 2012; hingga kerusuhan Balinuraga di Lampung Selatan tahun 2012;
serta konflik berdarah antara anggota FPI dengan warga Sukorejo tahun 2013,
yang juga memperunyam benang kusut kehidupan sosial di Indonesia. Hal ini
membuktikan bahwa karakter bangsa Indonesia menurun karena penghayatan kita
akan peninggalan bersejarah sudah memasuki masa paceklik. Keharmonisan yang dulu pernah dicontohkan oleh para
pendahulu kita juga sudah mulai dilupakan.
Disisi lain, masyarakat harmonis di
Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang terletak di wilayah Desa Dieng Kulon,
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng (Dieng Wetan), Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo, serta desa-desa di sekitarDieng. Letaknya berada
di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berada pada
ketinggian 2.075 m dpl, dengan koordinat 3°5’ BT dan 7°11’-7°13’ LS. Wilayah
yang dianggap menjadi salah satu wilayah paling terpencil di Jawa Tengah ini, masyarakatnya
menjunjung tinggi falsafah budayanya sendiri bahkan masih terus dikembangkan
sampai saat ini. Hal ini terjadi karena mereka telah memaknai benda-benda
lainnya, yang telah diwariskan oleh pendahulu masyarakat Dieng yaitu masyarakat
pada masa Wangsa Sanjaya.
Untuk itulah sebagai generasi muda,
penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana dampak dari memaknai penunggalan
kepurbakalaan Wangsa Sanjaya di Dieng khususnya pada peninggalan dari Kompleks
Percandian Arjuna, terhadap pembentukan karakter bangsa Indonesia seperti yang
telah tergambar di kehidupan sosial budaya masyarakat Dieng dan sekaligus
sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan lingkungan sosial budaya di
Indonesia seperti demoralisasi dan konflik SARA. Karena pada dasarnya memaknai
situs bersejarah tidak sebatas pada artefak dan lingkungan fisiknya, melainkan
juga pada fenomena sosial yang membingkainya.
B.
Identifikasi
Masalah
Munculnya konflik-konflik yang
berbasis suku, agam, ras, dan antar golongan, merupakan dampak dari rendahnya
karakter bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena berbagai peningggalan
bersejarah seperti yang telah diwariskan oleh Wangsa Sanjaya di Kawasan Dieng
khususnya Kompleks Percandian Arjuna, kurang dimaknai oleh generasi saat ini
sehingga memicu terjadinya konflik-konflik sosial.
C.
Batasan
Masalah
Untuk lebih memfokuskan pada obyek kajian penelitian
ini, maka dilakukan pembatasan masalah, yaitu :
a. Fokus
penelitian pada pemaknaan Kompleks Percandian Arjuna dari segi filosofis
bangunan candi dan filosofis nama candi berdasarkan pewayangan serta fenomena
sosial masyarakat Dieng.
b. Penelitian
ini membahas tentang sejauh mana pemahaman generasi muda terhadap warisan
bersejarah khususnya Kompleks Percandian Arjuna dan penurunan karakter generasi
muda, serta pengembangan Kompleks Percandian Arjuna.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis
merumuskan masalahnya yaitu :
a. Bagaimanakah
cara memaknai Kompleks Percandian Arjuna di Kawasan Dieng sehingga dapat
membentuk karakter bangsa Indonesia yang luhur?
b. Bagaimanakah
cara memberdayakan masyarakat sekitar Kompleks Percandian Arjuna sehingga dapat
menerik minat masyarakat luas untuk berkunjung dan mempelajarinya?
E.
Tujuan
Penelitian
Adapun tutjuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk
mengetahui cara memeknai Kompleks Percandian Arjuna di Kawasan Dieng sehingga
dapat membentuk karakter Bangsa Indonesia yang luhur.
b. Untuk
mengetahui cara memberdayakan masyarakat sekitar Kompleks Percandian Arjuna
sehingga dapat menarik minat masyarakat luas untuk berkunjung dan
mempelajarinya.
F.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Menumbuhkan
kecintaan generasi muda terhadap warisan budaya peninggalan Wangsa Sanjaya dan peninggalan
bersejarah lainnya untuk memperkokoh jati diri bangsa Indonesia melalui
benda-benda peninggalan arkeologisnya.
b. Membentuk
karakter bangsa Indonesia yang luhur melalui pemahaman akan Kompleks Percandian
Arjuna dalam mebangun masyarakat Indonesia yang multikultur.
c. Memberikan
gambaran mengenai pemanfaatan kawasan cagar budaya Dieng seperti Kompleks
Percandian Arjuna sebagai sarana pembelajaran, penelitian, serta wisata budaya.
d. Bahan
masukan bagi pengelola peninggalan purbakala di Kawasan Dieng dalam usaha
pelestarian dan pengembangan kawasan cagar budaya berbasis potensi lokal,
seperti memberdayakan masyarakat Dieng melalui tradisi-tradisinya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kompleks
Percandian Arjuna
Kompleks ini
terletak di sebelah utara Telaga Balekambang dan berada di sebelah selatan
kelompok Candi Dwarawati. Kelompok Candi Arjuna terdiri dari beberapa candi
yang berderet utara-selatan. Deret sebelah timur terdiri dari Candi Arjuna,
Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembrada. Di depan Candi Arjuna
terdapat Candi Semaryang terletak di deret sebelah barat, penamaan candi
diambil dari nama wayang yang bersumber dari cerita Baratayuda.
a.
Candi
Arjuna
Dari segi
arsitektur, Candi Arjuna dapat dikatakan paling tua di antara candi-candi di
Kompleks Candi Dieng. Hal ini diketahui dari tangga masuknya. Bila diperhatikan
tangga masuk ke bilik candi dipasang menempel pada kaki candi, sedangkan pada
candi-candi lain di Dieng, tangga masuk ditempatkan menjorok ke dalam kaki
candi. Ini berarti penempatan tangga masuk ke Candi Arjuna dikatakan masih
memperhatikan fungsi kaki candi sebagai lantai bangunan. Sebaliknya cara
penempatan kaki pada candi lain, daopat diartikan telah mengurangi fungsi kaki
sebagai lantai. Cara-cara terakhir ini yang diterapkan selanjutkan hingga masa
akhir Indonesia-Hindu di Jawa Timur.Tanda-tanda lain yang menunjukkan
pertanggalan Candi Arjuna didasrkan pada atapnya. Atap Candi Arjuna yang
bertingkat dua (mungkin 3) dengan ketinggian masing-masing dibuat pendek.
Padahal kecenderungan perkembangan pembuatan Candi Arjuna yang ditulis dalam
huruf Jawa Kuna. Prasati tersebut menunjukkan angka tahun 731 C atau 809 M.
Sedangkan 12 prasasti lain yang pernah ditemukan di Kompleks Candi Dieng
menunjukkan angka tahun yang lebih muda dan yang termuda adalah tahun 1132 C
atau 1210 M.
Selain
hal-hal tersebut yang diatas, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah denah
candi berbentuk bujur sangkar berukuran
6 m x 6 m. Dinding tubuh candi dihias oleh 5 buah relung, dua di samping kanan
dan kiri pintu bilik dan tiga relung pada masing-masing sisi tembok candi. Dua
relung yang pertama, diperkirakan ditempati oleh arca Mahakala dan Nandiswara.
Relung sebelah selatan merupakan tempat arca Durgamahisasuramardini berada.
Relung pada tembok belakang adalah bekas tempat arca Ganesha dan relung tembok
utara sebagai tempat arca Agastya. Saat
ini arca-arca tersebut tidak ditemukan lagi. Hiasan Kala-Makara selain pada
ambang atas pintu, juga pada masing-masing permukaan relung. Di bawah relung
tembok, sebelah utara terdapat cerat berbentuk kepala makara, yang berfungsi
sebagai jaladwara (saluran pembuangan air) yang dihubungkan ke dalam bilik
candi. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan Candi Arjuna. Kegunaan
tersebut untuk membuang air pada waktu upacara yang diselenggarakan di dalam
bilik. Karena salah satu bagian dari situs itu adalah melakukan siraman air
pada lingga-yoni. Pada bilik candi sekarang hanya tinggal yoni yang telah patah
ceratnya dan tanpa lingga.
b.
Candi Semar
Candi Seamar terletak di hadapan Candi Arjuna dengan
arah hadap ke timur. Candi Semar memiliki denah persegi panjang dengan ukuramn
3,5 m x 7 m. Dilihat dari cara pemasangan tangga masuk ke bilik sama dengan
Candi Arjuna, kaki candi sebagai lantai tampak tebal dan tangga masuk ke bilik
sama dengan Candi Arjuna yaitu menempel pada sisi lantai. Dengan demikian
lantai atau kaki masih berfungsi sebagai lantai bangunan. Oleh karena itulah
masa pendirian Candi Semar sangat mungkin bersamaan dengan Candi Arjuna.
Kala-Makara menghiasi ambang pintu bilik dan sisi
pintu. Tampak disini kala berbentuk raksasa dengan mulut yang tanpa rahang
bawah. Sedangkan makara yang berkepala binatang air yang berbelalai gajah yang
mengarah ke samping kanan dan kiri pintu bilik.
c. Candi Puntadewa
Denah bangunan
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4,4 x 4,4 m. Arsitektur ini menunjukkan
perkembangan dari Candi arjuna. Dilihat dari penempatan tangga masuk ke bilik
candi telah berbeda dari Candi Arjuna, yaitu tangga dipasang menjorok ke dalam
kaki candi. Namun bentuk kakinya masih sama, antara bagian bawah atas
dipisahkan oleh bidang-bidang berpanil. Dengan perbedaan pada jarak pemasangan
tangga itu Candi Puntadewa dianggap dibangun
setelah Candi Arjuna.
Pondasi Candi
Puntadewa dibuat lebih tinggi daripada Candi Arjuna, diduga hal ini berkaitan
dengan kondisi tanah yang senantiasa lembab dan terkadang basah, sehingga
dibutuhkan pondasi yang lebih tinggi.Dilihat dari atapnya sama dengan Candi
Arjuna yang bujur sangkar. Tetapi telah terjadi upaya peninggian atap.
Didasarkan pada hiasannya, Candi Puntadewa merupakan candi yang paling indah.
Relung-relung yang menghiasi tubuh candi tampaknya mendapatkan perlakuan yang
istimewa. Lima relung yang dahulunya berisi arca-arca pendamping utama Siwa,
meskipun kini telah kosong, tetapi masih kelihatan memiliki aksesori yang
indah. Bagian atas relung tepat diatas arca terdapat hiasan kanopi dan bagian
bawah di beri lapik (landasan) arca yang tebal serta menonjol.Candi ini juga
dihiasi dengan Kala-Makara yang diukir pada ambang atas relung tubuh candi,
atap, danm bilik pintu. Kala digambarkan tanpa rahang bawah. Yang agak lain
adalah makaranya, gambaran binatang laut yang berbelalai gajah telah distilir
dalam bentuk ukiran sulur-sulur.
d.
Candi Srikandi
Denah candi berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 3,84 m x 3,84 m. Bentuk kaki telah mengalami
perubahan, jika Candi Puntadewa di antara bagian kaki candi, di antara
bagian-bagian kaki telah mengalami perubahan yaitu disisipi oleh pelipit
mendatar. Bentuk semacam ini telah mengaburkan kaki candi sebagai bidang
lantai. Jika pada Candi Srikandi merupakan candi yang lebih muda daripada Candi
Puntadewa, maka yang aneh adalah relung pada tubuh candi. Dua relung pada
kanan-kiri pintu yang ditempati oleh arca Mahakala dan Nandiswara tidak ada.
Pada ketiga sisi tembok terdapat relung semu, sehingga berlawanan dengan
perkembangan relung kemudian yang justru mengarah semakin menonjol. Oleh karena
itu Candi Srikandi termasuk candi yang istimewa dalam arsitekturnya.
e.
Candi Sembadra
Candi Sembadra
terletak paling selatan dalam Kelompok Candi Arjuna, dengan ukuran 3,2 m x 3,2
m. Di atas relung terdapat hiasan kepala Kala yang berkumis dan dari mulutnya
keluar sepucuk bunga teratai mekar diapit oleh dua buah lagi yang masing-masing
setengah mekar.
Di
pintu masuk bagian atas ada relief Kala agak lebih besar dan kepala Makara yang
berbentuk kepala ikan dan dari mulutnya keluar makhluk bersayap. Mulai tahun
2010 Kompleks Percandian Arjuna mulai digunakan untuk pengembangan wisata yang
dikemas oleh Dinas Pariwisata Banjarnegara dan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Mereka menyelenggarakan
acara budaya tahunan yang telah dikenal dengan nama DCF (Dieng Culture Festival).
B.
Karakter
Penguatan pendidikan
moral (moral education) atau pendidikan
karakter (character education)
dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang
melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya
pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap
teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah
menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas,
oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku
moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
dinyatakanbahwa karakter yang baikdidukung oleh pengetahuan tentang kebaikan,
keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.Menurut
kamus psikologi,
karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya
kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif
tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).
Ada 18 butir nilai-nilai
pendidikan karakter yang harus kita miliki yaitu religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggung jawab.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Waktu
dan Lokasi Penelitian
Adapun waktu dan tempat penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut.
Waktu
|
Lokasi
|
Kegiatan
|
14 - 18 Oktober
2014
|
Perpustakaan SMAN 1 Sukorejo
|
Study literature
|
27 – 30 Oktober 2014
|
Ruang serbaguna SMAN 1 Sukorejo
|
Analisa data dan Pembuatan Karya Ilmiah
|
B.
Teknik
Pengumpulan Data
a.
Dokumentasi
Metode
pengumpulan data dengan studi dokumentasi, penulis lakukan untuk memperoleh
data-data dari sumbernya. Dalam hal ini, penulis mencari dokumen berupa
literatur, gambar, maupun video mengenai Kawasan Dieng yang meliputi sejarah,
fungsi, tinggalan cagar budaya khususnya Kompleks Percandian Arjuna, dan
kondisi masyarakatnya, filosofi pewayangan, serta pengertian karakter.
b.
Study
literature
Metode pencarian data dengan
study literatur penulis lakukan untuk memperoleh data-data yang diperlukan dari
sumber-sumbernya. Study literatur dimaksudkan agar hasil penelitian benar-benar
sesuai dengan teori yang sudah ada dan mendapatkan hasil penelitian yang
optimal serta dapat dipertanggungjawabkan validitasnya
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kompleks Candi Dieng merupakan
salah satu dari candi-candi Jawa Tengah yang telah lama tidak dikenal setelah
lebih dari 10 abad sejak masa pendiriannya, candi-candi tersebut terungkap kembali
dengan adanya kunjungan seorang Belanda H.C.Cornelis tahun 1814. Namun
demikian, usaha pengamanannya baru dilakukan oleh J.Van Kinsbergen pada tahun
1856. Kemudian penelitian secara mendalam dilakukan oleh H.L.Leydie Melville
pada tahun 1911-1916. Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, Kompleks
Percandian Dieng telah mendapatkan perhatian Dinas Purbakala yang pada waktu
itu yaitu dengan dipugarnya Kelompok Candi Arjuna dan Candi Bima.
Berdasarkan
prasasti tertua yang ditemukan di Candi Arjuna, menunjukkan angka tahun 809 M
yang berarti Kelompok Candi Arjuna dan Dieng secara keseluruhan telah dikenal sejak masa pemerintahan Raja
Rake Warak Dyah Manara (803-827 M). Dengan periodisasi Kompleks Candi Arjuna
yaitu, Candi Arjuna dan Candi Semar pada periode ke III tahun 760-812 M, Candi
Puntadewa pada periode ke IV tahun 812-838 M, serta Candi Sembadra dan Candi
Srikandi pada periode V tahun 928 sampai abad XVI M.
Perlindungan danpelestarian terhadap Kompleks
Percandian Arjuna sangat penting untuk dilakukan mengingat fungsinya yang
mewarisi tinggalan kejayaan masa Mataram Hindu tertua di Jawa. Sebagai kompleks
bangunan yang bertipe seremoni, tentunya banyak ditemukan unsur-unsur bangunan
candi untuk sarana persembahyangan, seperti yoni, arca, relief, dan lain-lain.
Seni arca yang ditemukan di Kompleks Percandian Arjuna memiliki kekhasan Dieng
tersendiri. Seperti relief Brahma di Candi Srikandi, relief ini digambarkan
dengan sikap anjalimurda, sedangkan
kedua tangan yang lain, masing-masing memegang aksamala dan camara.
Keberadaan Brahma dengan sikap anjalimurda
cukup menarik, karena sikap anjalimurda
biasanya hanya digunakan oleh ikon yang mempunyai kedudukan subordinat, padahal
di dalam sistem panteon Hindu, Brahma termasuk di dalam kelompok mahadewa. Hal
ini menunjukkan adanya ‘kebebasan’ dalam pembangunannya.
Dalam penelitian ini penulis
memfokuskan pada filosofi Kompleks Percandian Arjuna. Dari segi arsitektur dan
pembangunannya, candi-candi ini memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda-beda,
hal ini dapat dianalogikan dalam kehidupan masyarakat yaitu sikap yang
demokratis. Atap dari Candi Arjuna mirip dengan atap candi gaya India Selatan
dengan mengikuti aturan vastusastra.
Kondisi tanah yang lembap dan terkadang basah menyebabkan pondasi Candi
Puntadewa dibuat jauh lebih tinggi. Pada Candi Srikandi telah berubah dengan
disisipi pelipit mendatar. Pada ketiga sisi tembok Candi Arjuna terdapat relung
semu, sehingga berlawanan dengan perkembangan relung yang justru mengarah
semakin menonjol. Dalam pembangunan Kompleks Percandian Arjuna ini tampak
adanya kreatifitas, kerja keras, dan kedisiplinan yang sangat dibutuhkan
sehingga Kompleks Percandian Dieng ini memiliki ciri khas tersendiri dan tetap
kokoh hingga saat ini.
Selanjutnya dari segi filosofi
nama-nama candi yang diambil dari cerita Mahabarata. Seperti yang telah kita
ketahui, pewayangan mengandung unsur-unsur pendidikan dan simbol-simbol
kehidupan yang tersirat melalui tokoh-tokohnya. Nama-nama yang diberikan
masyarakat sekitar secara tidak sengaja telah menunjukkan tingkatan spiritual
manusia, meskipun tidak sepenuhnya tersusun secara berurutan
(Sadewa-Nakula-Arjuna-Srikandi-Sembadra-Larasati-Bima-Puntadewa). Untuk
mengkaji hal ini, maka penulis mengupasnya dimulai dari urutan terendah menuju
urutan tertinggi.
Semar
yang berarti samar yang bertugas momong atau mengasuh pribadi kita. Dalam
kepercayaan Jawa, juga dalam Al Quran disebutkan bahwa setiap manusia ada yang
momong atau membimbing yang bersifat gaib, maka semar dilambangkan dengan
laki-laki tetapi seperti perempuan, akan tetapi bukan banci. Semar merupakan
simbol dari sifat Ketuhanan, dia hanya wakil Tuhan yang ditugaskan untuk
membimbing setiap manusia menuju tingkatan batin yang lebih baik.
Dimulai dari Arjuna, yang berasal
dari kata Her yang berarti air bening
dan Jun yang berarti tempat. Arjuna
dapat disimpulkan sebagai keadaan batin manusia yang telah dapat menjadi
tenang, hening, dan bijaksana. Pada posisi ini manusia telah sadar akan
hakekatnya sebagai makhluk hidup yang sempurna sehingga perilakunya selalu
disertai dengan pertimbangan-pertimbangan dan kebijaksanaan.
Masuk ke tingkat selanjutnya,
Srikandi. Kata Sri yang berarti
baikdan Kandi yang berarti tempat.
Maka dalam tahap ini dapat diartikan bahwa kita harus bisa menjadikan diri kita
penuh dengan kebaikan. Baik sikap, pikiran, maupun tingkah laku. Sehingga kita
harus melatih dan membelajari hati kita untuk bisa tepat membidik hikmah-hikmah
yang baik dari setiap kejadian.
Berikutnya, Sembadra. Badra berarti halus. Setelah kita
berhasil mengambil hikmah-hikmah yang baik dari setiap kejadian selanjutnya
kita tingkatkan klualitas batin kita menjadi batin yang mampu menerima, rela,
sabar, serta sabar terhadap apa yang telah terjadi dalam hidup kita. Yang
terakhir, Puntadewa yang merupakan
tingkatan tertinggi atau manusia yang telah menjadi insan kamil atau khalifah
Tuhan untuk alam ini. Puntadewa diceritakan berdarah putih dan raja yang tak
bermahkota yang berarti tidak silau akan harta dan tahta duniawi.
Meskipun
untuk mencapai tingkatan batin seperti Puntadewa adalah tidak sesederhana yang
telah dijelaskan. Setidaknya ini telah menjadi gambaran bahwa sebenarnya
landasan hidup bangsa Indonesia telah ada di sekitar kita, contohnya melalui
pendalaman filosofi penamaan wayang pada Kompleks Candi Arjuna. Memang, tidak
ada hubungan antara fungsi dan eksistensi candi dengan nama-nama tersebut,
namun ada hal yang bisa menjelaskan hubungan keduanya yaitu nilai karakter yang
dapat kita ambil, yaitu religius, peduli lingkungan, dan cinta damai yang pada dasarnya
telah melekat saat kita ingin terus melestarikan candi-candi tersebut.
Masyarakat Dieng telah mencerminkan
nilai-nilai tersebut, sebut saja pada tradisi murwobumi di Desa Jojogan, tarian
rampak yaksa, tari legger, upacara baritan, dan merdi deso. Semua kebudayaan
tersebut secara tidak langsung telah mencerminkan masyarakat Dieng sebagai candi hidup yang merupakan cerminan dari
candi mati (candi dalam wujud
bendawi). Nilai toleransi juga sangat terasa dalam masyarakat Dieng yang
mayoritas adalah Muslim namun mengapa turut melestarikan peninggalan Hindu. Hal
ini berkaitan dengan kearifan lokal yang menjunjung tinggi budaya setempat
sehingga tercipta keselarasan hidup antara alam dengan manusia.
Sebagai upaya untuk mengembangkan
Kompleks Candi Arjuna, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak. Salah satu
pengembangannya adalah dengan menggelar event-event budaya yang mewakili
filosofi Kompleks Percandian Dieng, seperti sarasehan budaya dan pagelaran
dramatari, sendratari, atau seni pewayangan yang mewakili cerita tokoh-tokoh di
Kompleks Candi Ajuna yang akan menjadi daya tarik bagi Kompleks Candi Arjuna,
sehingga pengunjung menjadi tertarik untuk memaknai filosofisnya dan tidak
hanya sekedar berkunjung untuk menikmati arsitekturnya. Selain itu dengan
bertambahnya jumlah event-event budaya dapat memberikan dampak positif terhadap
perekonomian masyarakat sekitar Kompleks Percandian Arjuna.
Hal ini sejalan dengan tujuan
sosialisasi yang penulis lakukan. Pertama, anak dikenalkan terlebih dahulu
terhadap Kompleks Percandian Arjuna, selanjutnya diharapkan anak menjadi
tertarik yang telah dibuktikan dari hasil suvei yaitu sebanyak 39,6 persen
responden tertarik. Dari hal tersebut, diharapkan mampu menumbuhkan rasa
menghargai sejarah dan mencintai nilai-nilai budaya Kompleks Percandian Arjuna
dan hal ini sudah dibuktikan dengan 86,9 persen responden mendapatkan
pendidikan mengenai menghargai dan mencintai nilai peninggalan bersejarah.
Setelah itu, diharapkan menumbuhkan niat untuk berkunjung di Kompleks
Percandian Arjuna yang juga dibuktikan dengan 67,9 persen responden menyatakan
rencananya untuk berkunjung ke Kompleks Percandian Arjuna. Setelah mengunjungi
Kompleks Percandian Arjuna diharapkan pengunjung bisa memaknai filosofinya dan
selanjutnya dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari, yang tentunya
dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, cinta tanah air, peduli lingkungan, serta
semangat kebangsaan. Nilai-nilai tersebutlah yang akan membentuk karakter
bangsa Indonesia yang selanjutnya diharapkan menjadi benteng demoralisasi
bangsa Indonesia sehingga konflik-konflik yang berbau SARA yang seringkali
terjadi di sekitar kita dapat terhindarkan.
Tahap
akhir dari pengelolaan Kompleks Percandian Arjuna adalah pemanfaatannya.
Kompleks Percandian Arjuna ini sudah selayaknya dimanfaatkan bersama oleh
berbagai pihak termasuk masyarakat, yaitu sebagai obyek kajian penelitian,
pendidikan bagi generasi muda, sebagai obyek wisata andalan, menjadi simbol
solidaritas sosial dan integrasi kuat dalam masyarakat, dan sebagai stimulus
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar Kompleks Percandian Arjuna.
Sudah
lebih dari 1200 tahun peninggalan Kompleks Percandian Arjuna berlalu, namun
kita punya keteguhan bahwa kebesarannya bukanlah sekedar sebuah memori.
Keunggulannya menjadi sumber inspirasi untuk menumbuhkan spirit dan mencipta
karya yangbermanfaat bagi generasi sekarang dan bangsa Indonesia secara
berkelanjutan.
BAB
V
PENUTUP
1. Simpulan
Cara memaknai Kompleks Percandian
Arjuna adalah dengan mengenal, selanjutnya mencintai, mengunjungi, mencoba
memaknai filosofinya, dan selanjutnya mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari,
seperti toleransi antar umat beragama. Nilai-nilai karakter yang dapat
diperoleh setelah memaknai filosofi Kompleks Percandian Arjuna, yaitu religius,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan, tanggung
jawab, dan peduli sosial. Nilai-nilai ini diharapkan dapat menyelesaikan
persoalan yang berkaitan dengan rendahnya karakter bangsa, seperti persoalan
SARA.
Pemberdayaan
masyarakat sekitar Kompleks Percandian Arjuna adalah dengan menggelar
event-event budaya di pelataran Kompleks Percandian Arjuna, seperti sendratari,
dramatari, ataupun pegelaran wayang yang mewakili cerita tokoh-tokoh pewayangan
di Kompleks Percandian Arjuna dan sarasehan budaya.
Sehingga hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat.
2. Saran
Semua pihak diharapkan lebih peduli
terhadap keberadaan Kompleks Percandian Arjuna mengingat fungsinya sebagai
media pembentukan karakter bangsa Indonesia, salah satunya dengan mengadakan
sosialisasi lanjutan mengenai Kompleks Percandian Arjuna.
Selain
itu perlu adanya upaya pemberdayaan dan hubungan kerja sama terhadap masyarakat
sekitar agar pelestarian Percandian Arjuna dapat terjaga misalnya melalui
pemberdayaan UKM dan pengembangan kebudayaan sekitar.
Hal tersebut diperlukan mengingat potensi lokal
masih kurang dikembangakan.
DAFTAR PUSTAKA
Andriana,
Reni. 2007. Evaluasi Kawasan Lindung
Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo. Tesis Sarjana S-2. Semarang:
Program Studi Ilmu Lingkungan UNDIP
Dradjat,
Hari Untoro dkk.1997. Studi Pemintakatan
Situs Kompleks Candi Dieng .Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat
Haryanto.
2012. Pengertian Pendidikan Karakter. http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/.
[Diunduh 1 November 2014. 12:24]
Kasnowihardjo,
Gunadi. 2009. Pengelolaan Benda dan
Kawasan Cagar Budaya. http://proboyekso.blogspot.com/2009/03/pengelolaan-benda-dan-kawasan-cagar.html.
[Diunduh 1 November 2014. 12:30]
Koentjaraningrat.
1998. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan
Latif, Chalid, dkk. 1997. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia. Jakarta:
PT Pembina Peraga
Mahfud,
Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Permadi, Aldi, dkk. 2011. Filosofi
Wayang. http://teaterpulih.wordpress.com.
[Diunduh 3 November 2014. 12:42]
Soetarno, R. 1999. Aneka Candi Kuno di Indonesia. Jakarta:
Dahara Prize
Soebroto,
Ph. 1973. Kompleks Candi Dieng.
Yogyakarta: IKIP
Sukatno,
Otto, CR. 2004. Dieng Poros Dunia:
Menguak Jejak Peta Surga yang Hilang. Yogyakarta: IRCiSOD
Susilo. 1996. Latar Belakang Penempatan Dewa-Dewa Trimurti pada Candi Srikandi Dieng.
Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM
BIODATA
PENULIS
Ketua
Tim
Nama Lengkap : Aprilia Dhammashinta
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal
Lahir : Kendal, 27 April 1999
Alamat :
RT 06 RW 01 Desa Congkrang, KecamatanBejen, Kabupaten Temanggung 56258
NISN :
9990813754
No. Hp :
082333787468
Email : apriliadhammashinta@gmail.com
Sekolah : SMA Negeri
1 Sukorejo
Anggota
Tim
Nama Lengkap :Aprilia Dhammashanti
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal
Lahir : Kendal, 27 April 1999
Alamat : RT 06 RW
01 Desa Congkrang, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung 56258
NISN :
9990813755
No. Hp :
082333787462
Email : apriliadhammashanti@gmail.com
Sekolah : SMA Negeri
1 Sukorejo
No comments:
Post a Comment